Artikel ini ditulis oleh Ayyada Suwahyo
Artikel asli tayang di https://www.hipwee.com/list/ketika-adikmu-ketahuan-melihat-konten-dewasa/

HUAAAAAAA hiks.. hiks…nanti kalau cerita dimarahin!”

Tangis adikku memenuhi ruang tamu asrama siang hari itu. Berawal dari Ibu Pengasuh yang menceritakan perihal adikku ketahuan melihat konten dewasa dari ponsel milik asrama bersama kawannya, lalu berakhir dengan adikku menangis kencang saat ibuku mencoba bertanya terkait hal tersebut.

Saat pertama kali ketahuan oleh pengasuh, adikku mengelak dengan berbagai alasan. Akhirnya saat aku dan keluargaku datang untuk menjenguk, Ibu Pengasuh mulai bercerita. Ibuku kaget bukan main saat mendengar berita tersebut. Oiya, adikku saat ini berusia 7 tahun.

Kalau ditanya apakah marah? Ya tentu saja rasa ingin marah pasti ada. Tapi apakah dengan ibuku yang memarahi adikku bisa menjadi jalan keluar? Ya, mungkin adikku akan paham jika apa yang dilihatnya itu salah. Namun, nantinya adikku tidak memahami kenapa hal itu salah dan malah jadi merasa tidak aman jika ke depannya mau menceritakan hal lain pada keluarga.

Di antara kamu adakah yang pernah mergokin secara langsung adik atau saudara yang masih kecil melihat konten delapan belas coret?

Jangan langsung marah, sini aku beri tipsnya. Btw, ini hasil dari pengamatanku pada respon ibuku ke adikku, ya.

1. Tetap tenang

Photo by wayhomestudio on Freepik.com

Ibuku marah? Pasti. Ibuku kecewa? Pasti. Namun, nggak seharusnya kemarahan dan kekecewaan itu bikin kita jadi hilang kontrol dan malah marahin adik. Ibuku berusaha tetap tenang dan menanyai adikku pelan-pelan. Meskipun sulit dan adikku malah menangis kencang, ibuku tetap sabar menunggu adikku mau menjawab dengan nada yang tidak intimidatif.

2. Ajak ngobrol

Photo by bearfotos on Freepik.com

“Dek, ibu nggak marah asal adek mau cerita jujur ke ibu. Mau ya dek? Ibu enggak marah kok.” Itu kalimat pertama yang keluar dari ibuku saat adikku mulai menangis. Sebisa mungkin ibu berusaha menggali informasi seputar pertama kali melihat di mana, kenapa adikku melihat konten dewasa tersebut, sampai dengan konsekuensi yang akan adikku dapat jika ke depannya melihat lagi.

Butuh kesabaran ekstra memang, apalagi adikku yang menangis sesenggukan menambah tingkat kesulitan ibu untuk mencoba menangkap apa yang diceritakan.

3. Tidak menuduh

Photo by August de Richelieu from Pexels

Siapa sih manusia di dunia ini yang suka dituduh? Meskipun dia melakukan kesalahan, kayanya bakal susah ngaku kalau emang dari awal udah dituduh. Betul tidak? Ini juga yang disadari ibuku saat menghadapi adikku.

Pertanyaan-pertanyaan yang ibuku tanyain ke adikku juga tidak menyudutkan seperti, “Adek tau gambar itu pertama kali dari mana?”, “Sudah ya nangisnya, ibu nggak bisa denger ceritanya jelas kalau adek masih nangis”, “Kata siapa dimarahin kalau cerita? Justru kalau adek nggak cerita ibu malah jadi sedih”.

4. Beri alasan kenapa hal tersebut tidak boleh dilakukan

Photo by Andrea Piacquadio from Pexels

Sering nggak sih kita ngerasa malas buat menaati peraturan jika tidak dijelaskan alasan dan konsekuensi yang logis? Aku pribadi akan lebih mudah menerima larangan yang menurutku alasannya logis, apalagi anak seumuran adikku yang masih dalam tahap penasaran akan semua hal.

Saat menanyai adikku kemarin, ibuku juga menjelaskan dengan bahasa yang mudah terkait konten dewasa tersebut. “Adek ibu mau tanya. Kenapa sih adek, ibuk, bapak, mbak semuanya pakai baju?” Adikku masih sesenggukan.

“Karena ada anggota badan yang nggak boleh dilihat sama orang lain. Makanya pakai baju. Adek kalau nggak pakai baju pasti malu kan ya? Di gambar yang adek lihat itu berarti benar atau salah kalau nggak pakai baju malah difoto? Nah, makanya, besok-besok kalau ada gambar kaya gitu lagi lewat, langsung ditutup ya”. Pelan-pelan adikku mulai bisa menerima dan berhenti menangis.

5. Lakukan kegiatan bersama

Photo by cottonbro from Pexels

Karena ibuku takut adikku masih terbayang-bayang apa yang dilihat dari konten dewasa tersebut, ibuku memilih untuk melakukan kegiatan bersama untuk mengalihkan perhatian. Kegiatan yang mungkin dilakukan di sekitar rumah mengingat situasi pandemi masih berlangsung. Kegiatan yang ibuku pilih adalah memberi adikku gambar-gambar untuk diwarnai, kemudian adikku dibelikan beberapa petasan untuk dinyalakan di rumah dengan pengawasan bapak.

Bicara tentang anak-anak yang melihat konten dewasa, salah siapa sih sebenarnya? Ya, agak susah memang kalau mau jawaban dari pertanyaan tersebut. Ujung-ujungnya pasti saling tunjuk dan tidak menyelesaikan masalah.

Memang saat internet mulai berkembang dengan pesat, kemungkinan ini tidak bisa dihindari. Meskipun pemerintah sudah memblokir situs-situs berbahaya tersebut, masih saja ada satu dua iklan yang dengan cerdiknya bisa lolos dan muncul di kolom pencarian adik kita. Terlebih lagi saat pandemi di mana anak-anak lebih sering mengakses internet untuk mengikuti sekolah online.

Memberikan pendidikan kesehatan reproduksi sejak dini bisa jadi solusinya. Eh, apa hubungannya? Apa yang disampaikan ibuku terkait bagian tubuh mana yang boleh dilihat dan tidak boleh dilihat tadi adalah satu dari sekian banyak cakupan pendidikan kesehatan reproduksi.

Anak-anak diberikan pengetahuan tersebut selain untuk menghindari dari ancaman konten yang tidak senonoh, juga bisa menghindarkan dari kasus kekerasan seksual. Harapannya agar nantinya mereka bisa lebih waspada pada bagian tubuh mana saja yang boleh dilihat/disentuh dan tidak boleh oleh orang lain. Tak lupa juga mengetahui harus bagaimana ketika bagian tubuh tersebut dilihat/disentuh.

Cuman nih yaa.. kadang masyarakat udah pikirannya negatif dulu nih kalau soal pendidikan kesehatan reproduksi. Padahal, kalau udah tahu pasti bakal paham mengapa penting banget buat disampaikan. Jadi, mau sampai kapan nih, menunda belajar soal pendidikan kesehatan reproduksi?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya