Menjadi seorang manusia yang dibekali akal sehat untuk membedakan mana yang baik dan buruk tak membuat kasus pelecehan seksual berkurang di muka bumi ini. Adanya dorongan hawa nafsu dari pelaku membuat tindakan pelecehan seperti ini sering terjadi. Namun kurangnya bukti berupa foto maupun video yang merekam aksi sang pelaku membuat korban sering kesulitan dalam melaporkan kasus yang tengah dialaminya.

Alih-alih mendapatkan dukungan, sering kali korban dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan yang dilakukan sang pelaku, seperti “Salah siapa pakai bajunya ketat?”, “Lagian sih pulangnya malam”, dan kalimat negatif serta menuduh lainnya yang menyudutkan sang korban. Tak jarang hal ini membuat korban yang pernah mengalami pelecehan seksual enggan melapor dan memilih untuk menyimpan bebannya seorang diri.

Nah ternyata, ada suatu gerakan yang bisa meningkatkan empati masyarakat terhadap korban pelecehan seksual loh, Sobat GenZ. Biar nggak ada lagi tuh yang namanya victim blaming. Simak artikel berikut ya!

Semua bukan salahmu | Photo by rodnae production via www.pexels.com

Sering kali pelaku menggunakan metode victim blaming 

Jika dilihat dari sudut pandang sang pelaku, maka metode ini kerap kali digunakan untuk mempertahankan dirinya dari status bersalah. Kurangnya bukti berupa foto maupun video membuat sang pelaku lebih leluasa menggunakan metode ini yang menganggap dirinya seolah-olah korban atas tindakan pelecehan  tersebut dan mulai menyalahkan gaya berpakaian sang korban, menyalahkan situasi kejadian, atau kondisi waktu pada saat itu. 

Berikut ini analogi yang bisa sama-sama kita pahami betapa kuatnya metode victim blaming dalam memanipulasi kasus pelecehan seksual. Misalnya terjadi sebuah kasus pelecehan seksual yang dialami Lisa (nama samaran) sebagai korban dan Dani sebagai pelaku. Kemudian Dani berdalih dengan membuat pernyataan bahwa “Lisa yang mendekati Dani dan menggodanya”. Dengan narasi seperti ini, Lisa yang merupakan korban lebih rentan disalahkan.

Kumpulkan dukungan dari orang-orang | Photo by doidam10 via www.freepik.com

Gunakan metode imajinasi sosiologis 

Peristiwa pelecehan seksual bukanlah sebuah masalah yang bisa dianggap sepele. Untuk menghindari sikap menyalahkan korban sebenarnya atau playing victim, terdapat metode imajinasi sosiologis yang diperkenalkan oleh seorang sosiolog bernama Charles Wright Mills dalam bukunya yang berjudul The Sociological Imagination (1959).

Imajinasi sosiologis adalah kemampuan untuk melihat keterkaitan masalah yang kamu alami dengan situasi sosial yang terjadi di masyarakat, seperti pelecehan seksual, pemerkosaan, atau bullying. Dengan menggunakan metode imajinasi sosiologis diharapkan bisa mendapat dukungan semangat dari netizen atau warga internet yang merasa peduli dengan apa yang sedang kamu alami.

Hal ini pernah dilakukan oleh seorang perempuan di  KRL yang berani speak up mengenai pelecehan seksual  yang tengah dialaminya. Sang korban memberanikan diri untuk menceritakan kejadian tersebut melalui media sosial dan ia me-mention ke akun Commuter Line resmi untuk membantu menyelesaikan kasus tersebut. Berkat menyebarkan kronologi kejadian tersebut kemudian ramailah dukungan netizen untuk dirinya. 

Contoh lainnya adalah gerakan hashtag #MeToo yang mengumpulkan cerita pelecehan seksual dari orang-orang di seluruh dunia. Ajakan solidaritas ini muncul sebagai gerakan yang dapat meningkatkan kesadaran di masyarakat bahwa kekerasan seksual nyata terjadi tanpa memandang baju, situasi, dan kondisi. 

Mengalami kekerasan seksual tentunya hal yang berat untuk dialami. Namun sadarilah bahwa kamu tidak sendiri. Mintalah bantuan pada seseorang yang kamu percayai untuk memutuskan langkah hukum apa yang perlu ditindak lanjuti. Dunia tidak berakhir sampai disini. Semangat!

 

Referensi:

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya